Beranda | Artikel
Bagaimana Hukum Shalat Ghaib ?
Sabtu, 7 Juli 2012

BAGAIMANA HUKUM SHALAT GHAIB?

Pertanyaan.
Diberitakan bahwa sehari setelah pemakaman syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, di kota-kota Saudi Arabia dilakukan shalat ghaib untuk syaikh Muhammad bin al-Utsaimin rahimahullah usai menunaikan shalat Jum’at.

Pertanyaannya : apakah ini sesuai dengan syari’at atau tidak ?

Jazâkallâhu khiran

Jawaban.
Permasalahan yang saudara tanyakan serupa dengan pertanyaan yang pernah diajukan kepada komite tetap untuk penelitian Islam dan fatwa (Lajnah ad-Dâimah Lilbuhûtsil Islamiyah wal ifta’) di Saudi Arabia tentang shalat ghaib. Dalam fatwa yang bernomer 5394[1] , mereka memberikan jawaban, “Dibolehkan shalat jenazah untuk mayit yang ghaib (tidak ada ditempat), berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu bukan kekhususan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Sebab para sahabat juga melakukan shalat ghaib bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Najasyi. Juga karena pada asalnya itu bukan sebuah kekhususan. Namun sepatutnya shalat ghaib itu dikhususkan bagi orang yang memiliki kedudukan dalam islam tidak pada setiap orang.

Fatwa ini ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Azîz bin Bâz, syeikh Abdurrazâq Afifi dan Syeikh Abdullah bin Qu’ûd.

Masalah shalat ghaib memang menjadi salah satu masalah yang diperselisihkan hukumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini dalam empat pendapat :

  1. Shalat ghaib diperbolehkan secara mutlak, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyhalatkan an-Najâsiy yaitu seorang muslim yang tinggal diluar Madinah. Dengan demikian diperbolehkan dan disyariatkan secara mutlak untuk melakukan shalat ghaib untuk setiap muslim. Ini pendapat imam asy-Syâfi’i, Ahmad dan lainnya.
  2. Shalat ghaib dilarang secara mutlak, karena banyak para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meninggal dunia di luar kota Madinah, namun tidak ada satupun riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghaib untuk mereka. Sedangkan tentang kisah Najâsyi, itu merupakan kekhususan untuk beliau saja. Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan imam Mâlik.
  3. Shalat ghaib disyariatkan pada orang yang meninggal di negeri atau suatu tempat yang tidak dishalati oleh seorangpun, seperti kisah Najâsyi yang berada di negeri kaum nashrani lalu meninggal di sana sehingga tidak ada seorangpun yang menyalatinya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghaib untuknya. Inilah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ (5/439)
  4. Apabila yang meninggal adalah seorang yang memiliki kedudukan dan jasa besar serta pembelaan terhadap Islam atau termasuk pemimpin kaum Muslimin yang memberikan manfaat dan pembelaan terhadap Islam. Atau juga seorang Ulama terkenal maka disyariatkan shalat ghaib baginya. Inilah yang menjadi fatwa al-Lajnah ad-Dâimah seperti dijelaskan diatas.

Pendapat yang rajih menurut kami adalah pendapat yang ketiga dengan alasan berikut :

  1. Tidak ada hadits yang shahih yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghaib kecuali untuk Najâsyi, karena beliau meninggal ditengah kaum musyrikin bukan (ditengah orang) ahli shalat. Seandainya pun ada diantara mereka yang sudah berimanpun, ia tetap belum mengetahui tata cara shalat jenazah sedikitpun. Sehingga dapat dipastikan beliau belum dishalatkan jenazahnya.
  2. Ini yang dapat mewujudkan maksud dan tujuan dari (pensyari’atan) shalat ghaib yaitu menggugurkan kewajiban melakukan shalat jenazah kepada jenazah Muslim.

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_____
Footnote
[1]. Lihat kitab Fatâwâ al-Lajnatid Dâimah Lil Buhûtsil Islâmiyah wal Iftâ, 8/418

KAPANKAH SHALAT GHAIB ITU DILAKSANAKAN

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya : Bagaimanakah cara menshalati mayit yang ghaib (tidak ada ditempat orang yang menshalatinya) ? Apakah setiap orang yang meninggalkan dishalati dengan shalat ghaib?

Beliau rahimahullah  menjawab :
Cara menshalati mayit yang ghaib (tidak ada ditempat orang yang menyhalatinya) sama dengan menshalati mayit yang ada dihadapan orang yang menshalatinya. Oleh karena itu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai mengabarkan kematian Najasy kepada para Shahabat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk berangkat menuju mushalla (tanah lapang tempat shalat-red) lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatur shaf (barisan) mereka dan memimpin shalat dengan empat kali takbir sebagaimana menshalati mayit yang ada dihadapan orang-orang yang menyhalatinya.

Adapun tentang pertanyaan selanjutnya : Apakah setiap (orang Muslim) yang meninggal di shalati dengan shalat ghaib atau tidak?

Dalam masalah ini, para ahli ilmu berbeda pendapat:

  1. Sebagian mereka mengatakan bahwa setiap (Muslim) yang meninggal dunia di shalati dengan shalat ghaib, bahkan sebagian dari mereka mengatakan bahwa seyogyanya setiap manusia (Muslim) melakukan shalat jenazah setiap sore. Shalat ini dilaksanakan dengan niat menshalati semua Muslim yang meninggal dunia pada hari itu (dimanapun jua-red), baik di belahan bumi bagian barat ataupun belahan bumi bagian timur.
  2. Ahli ilmu yang lain mengatakan bahwa tidak shalati dengan shalat shalat ghaib kecuali mayit yang diketahui dengan pasti dia tidak dishalati (ditempat meninggalnya)
  3. Dishalati, tapi khusus untuk memiliki andil kebaikan bagi kaum Muslimin, misalnya dengan ilmunya yang bermanfaat atau yang lainnya

Yang rajih adalah tidak dishalati dengan shalat ghaib kecuali jika diketahui bahwa si mayit tidak tidak dishalati ditempat meninggalnya. Pada zaman Khulafâ’ur Râsyidin g banyak orang yang memiliki andil besar bagi kaum Muslimin meninggal dunia, namun tidak ada seorang diantara mereka yang dishalati dengan shalat ghaib. Padahal hukum asal dalam masalah ibadah itu adalah tauqîfî, (artinya) tidak boleh dilaksanakan sampai ada dalil yang menunjukkan hal itu. [Majmû’ wa Rasâ’il, 17/148-149]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3298-bagaimana-hukum-shalat-ghaib.html